Tugas Kelompok
6
PESERTA DIDIK
(Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam (IPI) yang dibimbing oleh Bapak Agus Faisal Asyha, M.Pd.I )
Oleh :
1.
Erlawati 911050034
2.
Purnomo
911050085
![]() |
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Peserta Didik”.
Sholawat serta salam penulis sanjung agungkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan sampai terang
benderang sekarang ini. Makalah ini dibuat selain untuk melengkapi tugas hadits
tarbawi, juga memberi wawasan bagi pembaca dan penulis khususnya.
Makalah ini berusaha untuk menyajikan pengetahuan dan
penjabaran tentang Peserta Didik yang bermafaat bagi pembaca dan khususnya bagi
penulis.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sebuah
kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun bagi penulis agar menjadi pelajaran yang berharga khususnya bagi
penulis dan pembaca.
Bandar lampung,…Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................ iii
A. Latar belakang.................................................................. iii
B. Rumusan masalah............................................................. iv
C. Tujuan Masalah................................................................. iv
BAB II PEMBAHASAN.............................................................. 1
A. Pengertian Peserta Didik.................................................. 1
B. Aspek
/ Kebutuhan Peserta Didik.................................... 2
C.
Dimensi-dimensi Peserta Didik......................................... 7
D.
Tingkat Intelegensi Peserta Didik..................................... 13
E. Etika
Peserta Didik........................................................... 18
BAB III
PENUTUP...................................................................... 21
A. Kesimpulan ...................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Salah satu komponen dalam system pendidikan
adalah adanya peserta didik, peserta didik merupakan komponen yang sangat
penting dalam system pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai
pendidik apabila tidak ada yang dididiknya.
Peserta didik adalah orang yang memiliki
potensi dasar, yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik
maupun psikis, baik pendidikan itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun
dilingkkungan masyarakat dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus
memahami hak dan kewajibanya serta melaksanakanya. Hak adalah sesuatu yang
harus diterima oleh peserta didik, sedangkan kewajiaban adalah sesuatu yang
wajib dilakkukan atau dilaksanakan oleh peserta didik.
Namun itu semua tidak terlepas dari
keterlibatan pendidik, karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan
pemahaman tentang dimensi-dimensi yang terdapat didalam diri peserta didik
terhadap peserta didik itu sendiri, kalau seorang pendidik tidak mengetahui dimensi-dimensi
tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit
dikembangkan, dan peserta didikpun juga mengenali potensi yang dimilikinya.
Dalam makalah ini, kami mencoba
menghidangkan persoalan-persoalan diatas guna mncapai tujuan pendidikan yang
diharapakan, khususnya dalam pendidikan Islam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang:
1. Pengertian peserta didik
C.
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui pengertian peserta didik dan
bagian-bagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu.
Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami
perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam
membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses
pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah
mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental
maupun fikiran.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik
tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju
kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada
pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun
saudara yang lebih tua. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa peserta didik
merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga
menjadi suatu produk pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta
didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti
halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam
proses ini peserta didik akan banyak sekali menerima bantuan yang mungkin tidak
disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran
tertentu yang ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak
hal yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian
buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta
didik dalam konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang
pendidik adalah memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik
menuju kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam
konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik
tersebut.
a.
Ciri-ciri peserta didik :
1.
kelemahan dan ketak berdayaannya
2.
berkemauan keras untuk berkembang
3.
ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).[1]
b.
Kriteria peserta didik :
Syamsul nizar
mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :
1.
peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi
memiliki dunianya sendiri
2.
peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan
pertumbuhan
3.
peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki
perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana
ia berada.
4.
peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan
rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal
hati nurani dan nafsu
5.
peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi
atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[2]
Didalam
proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah objek atau
tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai
subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai
dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut
seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan
membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.
Sehingga
agar seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang berkepribadian dan
dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu
memahami peserta didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang
harus dipahami adalah :
1.
kebutuhannya
2.
dimensi-dimensinya
3.
intelegensinya
4.
kepribadiannya.[3]
Allah
SWT berfirman :
B. Aspek / Kebutuhan-Kebutuhan
Peserta Didik
Pada sub bab sebelumnya tengah
disinggung bahwasannya untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses pendidikan
maka seorang pendidik harus mampu memahami karakteristik seorang peserta didik
itu sendiri. Kemudian salah satu dari nya adalah kebutuhan peserta didik.
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh
peserta didik untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut
wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut
buku yang ditulis oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang
harus dipenuhi, yaitu :
a.
Kebutuhan Fisik
Fisik seorang didik selalu mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga
tahapan :
1.
Peserta didik pada usia 0 – 7 tahun, pada masa ini
peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak
2. Peserta didik
pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami
masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal
3. Peserta didik
pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas
yang akan membawa kepada kedewasaan.[4]
Pada masa perkembangan ini lah seorang
pendidik perlu memperhatikan perubahan dan perkembangan seorang didik. Karena
pada usia ini seorang peserta didik mengalami masa yang penuh dengan pengalaman
(terutama pada masa pubertas) yang secara tidak langsung akan membentuk
kepribadian peserta didik itu sendiri.
Disamping memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik harus selalu
memberikan bimbingan, arahan, serta dapat menuntun peserta didik kepada arah
kedewasaan yang pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang dapat
mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia tentukan dalam
perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.
b.
Kebutuhan Sosial
Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada hakekatnya kata
sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan dilampaui oleh seorang
peserta didik dalam proses pendidikan.
Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan lansung
dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat
lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga
supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya,
guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta didik
dapat memperoleh posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[5]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah digunakan untuk
memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang pada hakekatnya adalah
seorang individu yang ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam
lingkungan masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal
(Q.S. Al-Hujarat, 49:13)
c.
Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan
mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk
mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh
peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap
kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan
masyarakat.
Dalam
proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik ingin menjadi
orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar
berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan
masyarakat.
d.
Kebutuhan Mandiri
Ketika
seorang peserta didik telah melewati masa anak dan memasuki masa keremajaan,
maka seorang peserta perlu mendapat sikap pendidik yang memberikan kebebasan
kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal
ini disebabkan karena ketika peserta telah menjadi seorang remaja, dia akan
memiliki ambisi atau cita-cita yang mulai ditampakkan dan terfikir oleh peserta
didik, inilah yang akan menuntun peserta didik untuk dapat memilih langkah yang
dipilihnya.
Karena
pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman itulah yang menyebabkan
para peserta didik harus dapat bersikap mandiri, mulai dari cara pandang mereka
akan masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka tersebut.
Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk
menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan
rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika
seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya
kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.
e.
Kebutuhan Untuk Berprestasi
Untuk
mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus mampu mendapatkan kebutuhan
mendapatkan status dan kebutuhan mandiri terlebih dahulu. Karena kedua hal
tersebut sangat erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta
didik telah mendapatkan kedua kebutuhan tersebut, maka secara langsung peserta
didik akan mampu mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal
ini lah yang akan menuntutnun langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.
f.
Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan
ini tergolong sangat penting bagi peserta didik, karena kebutuhan ini sangatlah
berpengaruh akan pembentukan mental dan prestasi dari seorang peserta didik.
Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua
akan sangat memberikan mitivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan
prestasi, dibandingkan dengan dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan
menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap mental peserta didik. Di
dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih sayang paling indah adalah
kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat muslim selalu berlomba-lomba
untuk mendapatkan kasih sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia
tersebut mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini yang diharapkan para pakar
pendidikan akan pentingnya kasih sayang bagi peserta didik.
g.
Kebutuhan Untuk Curhat
Ktika
seorang peserta didik menghadapi masa pubertas, meka seorang peserta didik
tersebut tengah mulai mendapatkan problema-probelama keremajaan. Kebutuhan
untuk curhat biasanya ditujukan untuk mengurangi beban masalah yang dia hadapi.
Pada hakekatnya ketika seorang yang tengah menglami masa pubertas membutuhkan
seorang yang dapat diajak berbagi atau curhat. Tindakan ini akan membuat
seorang peserta didik merasa bahwa apa yang dia rasakan dapat dirasakan oleh
orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki kesempatan untuk berbagi atau
curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan membentuk sikap tidak
percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang makin menumpuk yang
kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta didik untuk melakukan hal-hal
yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.
h.
Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada
hakekatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat walaupun terkadang ia tidak
menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki ide, keindahan,
pemikiran, kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah
yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
Karena terkadang seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya ikatan
filsafat pada dirinya, maka terkadang seorang peserta didik tidak menyadari
bagaimana dia bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat
erat kaitannya dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing manuasia
untuk mendapatkan dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat hidup.
Sehingga tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.
Agama adalah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan manusia, sehingga
tatkala seorang peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia telah memiliki
rasa iman. Namun rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan usia
peserta didik. Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka
iman tersebut akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang menciptakan saya,
siapa yang dapat melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlinfungan
kepada saya. Namun iman ini dapat menurun tergantung bagaiman ia beribadah.
Pendidikan agana disamping memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan
psikologis ataupun kebutuhan primer maupun skunder, maka penekanannya adalah
pemenuhan kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah
dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh
aspek kehidupannya.[6]
C.
Dimensi – Dimensi Peserta Didik
Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta
didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di
masa yang akan datang (kedewasaan).
Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manusia dalam Islam,
secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani.
Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi
kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam
bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan
akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar
firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna
dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah.[7]
Didalam Sub Bab ini penulis hanya akan membahas 7 dimensi saja. Adapun
ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi akal, dimensi
keberagamaannya, dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi
sosial.
a.
Dimensi Fisik (Jasmani)
Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abaiotik.
Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan
makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna
dari hewan, hal ini dikarenakan manuasia memiliki nafsu yang dibentengi oleh
akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink bukanya akal.
Antara manusia dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik dan
biotik manusia dan hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang sama,
yaitu tercipta dari inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat elemen
abiotik itu oleh Allah SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan
sebuah energi kehidupan yang berupa ruh.
Ramayulis, dalam bukunya ia mengambil pendapat Alghazali yang menyatakan bahwa
daya hidup yang berupa ruh ini merupakan vitalitas kehidupan yang sangat
bergantung pada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat
pencernaan, susunan saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut,
dan sebagainya.[8]
b.
Dimensi Akal
Ramayulis
dalam bukunya ia mengambil pendapat al – Ishfahami yang membagi akal menjadi
dua macam yaitu :
- Aql
Al-Mathhu’ : yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah
SWT sebagai fitrah Illahi.
- Aql al-masmu : yaitu akal yang
merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.[9]
Akal ini tidak dapat dilepaskan dari diri manusia, karena digunakan untuk
menggerakkan akal mathhu untuk tetap berada di jalan Allah.
Akal memiliki fungsi sebagai berikut :
1.
Akal adalah penahan nafsu.
2.
Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah
dalam menghadapi. sesuatu baik yang nampak jelas maupun yang tidak jelas.
3.
Akal adalah petunjuk yang membedakan hidayah dan
kesesatan.
4.
Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.
5.
Adalah pandangan batin yang berpandangan tembus
melebihi penglihatan mata
6.
Akal adalah daya ingat mengambil dari masa lampau
untuk masa yang akan dihadapi.[10]
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri
sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar dapat memahai sesuatu yang
bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya
lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada
diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan
agar tetap mampu berkembang kearah yang positif.
c.
Dimensi Keberagaman
Manusia
sejak lahir kedunia telah menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo
religius yaitu makhluk yang percaya akan adanya tuhan atau makhluk yang
beragama. Dalam agama islam diyakini bahwa pada saat janin manusia berada dalam
kandungan seorang ibu, dan ketika ditiupkan nyawa kedalam janin tersebut oleh
sang kholiq, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman kepada-Mu (Allah).
Dari sinilah manusia mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan
akan adanya tuhan sejak lahir. Dalam Ayat Al-qur’an ditegaskan :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?”
mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
(Al – A’raf : 172)
Berkaitan
dengan adanya kepercayaan akan adanya tuhan, ilsam memiliki tiga implikasi
dasar pada diri manusia yang didasarkan dari adanya satu kesamaan dari jutaan
perbedaan yang terdapat diri manusia, yaitu :
1.
impikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa
depan, dimana fitrah dikembangkan seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan
materi
2.
tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu insan
kamil yang akan berhasil jika manusia menjalankan tugasnya sebagi abdullah dan
kholifah
3.
muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan
spesialisasi dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah
manusia.[11]
d.
Dimensi Akhlak
Kata akhlak dalam pendidikan islam
adalah seuatu yang sangat diutamakan. Dalam islam akhlak sangat erat kaitannya
dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari
pendidikan agama.
Akhlak menurut pengertian islam
adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia
tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak
dalam islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung yaitu
keridhoan dari Allah SWT.
Akhlak dalam islam memiliki tujuh ciri, yaitu :
1.
bersifat menyeluruh atau universal
2.
menghargai tabiat manusia yang terdiri dari berbagai
dimensi
3.
bersifat sederhana atau tidak berlebih-lebihan
4.
realistis, sesuai dengan akal dan kemampuan manusia
5.
kemudahan, manusia tidak diberi beban yang melebihi
kemampuannya
6.
mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan,
perbuatan, teori, dan praktek
7.
tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prisnsip akhlak
umum.[12]
Pendidikan
akhlak mulai diberikan sejak manusia lahir kedunia, dengan tujuan untuk
membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras, bijaksana, sempurna,
sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Namun perlu disadari bahwasannya
pendidikan akhlak akan dapat terbentuk dari adanya pengalaman pada diri peserta
didik.
Disisi
keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual adalah
pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat
kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka manusia secara
langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal tuhannya.
Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan
pemahaman yang sempurna tentang
ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
2.
Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari
hal baru untuk kemajuan hidup dan
menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
3.
Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang
lebih tinggi dari semua keunggulan
manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha yang dimiliki
oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia
tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika dapat
merasakan sifat kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan peningkatan iman
yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah
yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
e.
Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Tidak jauh
berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani dalah adalah dimensi yang sangat
penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan)
harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidu bahagia, sehat, merasa
aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna debelum ditiupkan
oleh Allah sebagian ruh baginya.
Allah SWT berfirman :
Menurut Al- Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan al-
nafs. Al-ruh adalah daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri,
tuhan, dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia
berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak
bagi manusia untuk menjalankan perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda
dengan makhluk lainnya dengan kata lain pembeda tingkatan manusia dengan
makhluk lain yang sama-sama memiliki al-nafs seperti halnya hewan
dan tumbuhan.[13]
Menurut pendapat Al-Syari’ati ruh adalah bersifat dinamis, sehingga dengan
sifat yang dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat yang
setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat yang
serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang memiliki kebebasan untuk
mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah. Dengan
demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ruh manusia dapat berkembang
ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.
f.
Dimensi Seni (Keindahan)
Seni
merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga
senia dalam diri manusia harus lah dikembangkan. seni dalam diri manusia
merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri
manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menajalankan fungsi
kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat
bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
Dalam agama islam Allah telah menghadirkan dimensi seni ini didalam Al-Qur’an.
Kitab suci Al-qur’an memiliki kandungan nilai seni yang sangat mulia nan indah.
Hal ini karena A-lqur’an adalah ekspresi dari Allah SWT untuk memberikan
kebijakan dan pengetahuan kepada seluruh semesta Alam. Sehingga kesastraan yang
terdapat di dalam Al-Qur’an benar-benar menunjukkan kehadiran Illahi didalam
mu’jizat yang bersifat universal ini.
Allah SWT berfirman :
Keindahan selalu berkaitan dengan adanya keimanan pada diri manusia. Semakin
tinggi iman yang dimiliki oleh manusia maka dia akan makin dapat merasakan
keindahan akan segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.
g.
Dimensi Sosial
Dimensi
sosial bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok,
maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah
keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk
kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui
bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat
pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
Dalam dimensi sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang
dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial
yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong
sesama serta menunjukkan cermin keimanan kepada Allah SWT. Nabi SAW
bersabda :
Demi allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman,
demi Allah tidak beriman, orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tangannya
kelaparan, padahal ia mengetahuinya.
D. Tingkat
Intelegensi Peserta Didik
Secara bahasa Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman,
kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan
keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan kecerdasannya.
Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa intelegensi peserta didik adalah
kecerdasan yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu yang baru berdasarkan tingkat
kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau kecerdasan dalam pendidikan
islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
1.
kecerdasan intelektual
2.
kecerdasan emosional
3.
kecerdasan spiritual
4.
Kecerdasan Qalbiyah.
1.
Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pengambangan
tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya
menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan
otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara
fungsional dengan yang lain.[14]
Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan proses
berfikir atau kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam
aspek ini manusia dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau
memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis (logika).
Secara umum kecerdasan intelektual dapat digolongkan sebagai berikut :
·
Tingkat Inteltua
·
Super normal
·
Normal dan sedikit dibawah normal
·
Sub Normal
- Normal atau
subnormal, IQ 90 – 110
- Berdorline,
IQ 70 – 90
- Debil, IQ 50
– 70
- Insibil, IQ
25 – 50
- Idiot, IQ 20
– 25”
-
Genius, IQ diatas 140
-
Gifted, IQ 130 – 140
Menurut pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani,
mengatakan bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
- berkelainan
sosial
- berkelainan jasmani
- berkelainan mental
- anak nakal/ delinquen
- anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari
masyarakat
- anak timpang
- anak berkelainan penglihatan
- anak berkelainan pendengaran
- anak berkelainan bicara
- anak kerdil
- tingkat kecerdasan rendah
- tingkat kecerdasan tinggi.[15]
2.
Kecerdasan Emosional
Menurut
Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotovasi diri
sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[16]
Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan
satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan
untuk berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional yang
dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan motivasi, mendorong
kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan
dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya sendiri
untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan
adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa
malas yang timbul pada dirinya.
Ari Ginanjar
mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional, sebagai
berikut :
- Konsistensi (istiqamah)
- Kerendahan hati (tawadhu’)
- Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
- Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
- Keseimbangan (tawazun)
- Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam islam hal tersebut disebut dengan akhlaq
al karimah.[17]
Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginan-keinginan,
yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk melakukan
hal-hal yang posistif.
Solovery menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :
1.
Respon yang cepat namun ceroboh
2.
Mendahulukan perasaan daripada fikiran
3.
Realitas simbolik yang seperti anak-anak
4.
Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang
5.
Realitas yang ditentukan oleh keadaan.[18]
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
yang bekerja secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak didampingi
oleh pemikiran yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah
akan mendorong peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif atau
melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).
Jalaludin Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional prespektif,
mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang tinggi harus
melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.
musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk
membiasakan perbuatan baik dan membuang
perbuatan buruk
2.
muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari
3.
muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang
pernah dilakukan
4.
mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang
dikerjakan dan menghukum diri
sendiri.[19]
3. Kecerdasan
Spiritual
Secara etimologi spritual berarti
yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan spiritula pada diri manusia
berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi
dan agama.
Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang
bersifat duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat
memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau
memilih keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.
Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual
adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi
ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka
manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal
tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang
paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Bersikap
asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang sempurna tentang
ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
2. Berusaha
mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal baru untuk kemajuan hidup dan
menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
3. Berfikit
lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua keunggulan
manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya
sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia
tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati
bergetar ketika dapat merasakan sifat kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan peningkatan iman
yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah
yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
h.
Kecerdasan Qalbiyah
Secara
etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam pengertian
istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk memahami kalbu
dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna sehingga dapat
menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.
Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan kecerdasan
agama dalam dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih
tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai kecerdasan
agama maka secara langsung seorang tersebut akan memiliki kecerdasan yang
melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spiritual.
Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah:
1.
respon yang intuitif ilabiab
2.
lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada
nilai-nilai kemanusiaan
3.
realitas subyektif diposiskan sama kuatnya posisinya,
atau lebih tinggi dengan realitas
obyektif
4.
didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan
dan pensucian diri.[20]
E. Etika
Peserta Didik
Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan.
Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis,
menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :
1.
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh
kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut
untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
2.
Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrowi.
(Adh Dhuha : 4)
3.
Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara
meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4. Menjaga
pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran
5. Mempelajari
ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
6. Belajar
dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang
sukar.
7. Belajar ilmu
sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak
didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu
duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.[21]
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari
Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika
yang harus dimilkinya, yaitu :
1.
Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan
hatinya sebelum menuntut ilmu.
2.
Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh
dengan berbagai sifat keutamaan.
3.
Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut
ilmu di berbagai tempat.
4.
Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5.
Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh
dan tabah.[22]
Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak
peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
1.
Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran
dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang
harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
2.
Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu
dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada
Allah.
3.
Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh
ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
4.
Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati
guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan
beberapa cara yang baik.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tentang peserta didik dalam pendidikan islam dalam bab sebelumnya, maka
penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
- Peserta didik adalah individu yang mengalami
perkembangan dan perubahan, sehingga ia harus mendapatkan bimbingan dan
arahan untuk membentuk sikap moral dan kepribadian.
- Kebutuhan peserta didik yang berupa kebutuhan
fisik, sosial, mendapatkan status, mandiri, berprestasi, ingin disayangi
dan dicintai, curhat, dan mendapatkan filsafat hidup harus dipenuhi oleh
pendidik untuk menunjang perkembangan dan pembentukan sikap moral peserta
didik sebagai insan kamil.
- Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting
yang mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus
diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik
yang berakhlak mulia dan dapat disebut sebagai insan kamil.
- Peserta didik akan melampaui kecerdasan
intelektual, emosional, dan spiritual ketika ia telah mencapai tingkatan
ilmu yang melibihi tingkatan kecerdasan qalbiyah, yaitu kecerdasan agama.
- Etika peserta didik dalam proses pendidikan islam
sangatlah berperan penting dalam proses perkembangan dan pencapaian
peserta didik sebagai insan kamil.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu
dkk. Ilmu Pendidikan Cetakan ke II. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2006.
Ramayulis.
Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia. Jakarta. 2006.
Supriono,Widodo.
Filsafat Manusia dalam Islam. Pustaka Belajar. Yogyakarta, 1996.
Vandha.
Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia. Jakarta. 2008.
[1] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, PT Rineka
Cipta, Jakarta, 2006, Hal 40
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 77
[3] Ramayulis, Op.cit. Hal. 78
[4] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur
Uhbiyati, Cop.cit, Hal. 42
[5] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78
[6] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81
[7] Widodo Supriono, Filsafat
Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, Hal. 171
[8] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83
[9] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85
[10] Ibid., Hal. 86
[11] Ramayulis,Op.cit., hal 88
[12] Ibid., hal 89 – 90
[13] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin,
al-saqafat al-islamiyat, kairo, 1994, Hal. 16
[14] Ramayulis, Op.cit., Hal. 97
[15] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur
Uhbiyati, Op.cit, Hal. 46
[16] Daniel Golmen, Kecerdasan
Emosional Edisi Terjemahan Cetakan Ke 9 Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45
[17] Ari Ginanjar Agustian, Emotional
Spiritual Quotient : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta,
2001, Hal. 199
[18] Ramayulis, Op.cit., Hal 103
[19] Ramayulis, Op.cit., Hal. 105
[20] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110
[21] Abd. Mujid dalam Ramayulis,
Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2004, Hal. 98
[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119
[23] Ibid, Hal 120
Terima kasih saudara, makalahnya bermanfaat buat saya.
BalasHapusSemoga sukses